Proposal Penelitian PAUD
Oleh SISKAWATI
UJIAN
AKHIR SEMESTER (UAS)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
” Metodologi Penelitian ”
Dosen Pengampu :
Iswadi, M. Pd.
PEMANFAATAN PERMAINAN TRADISIONAL UNTUK
KEGIATAN PEMBELAJARAN UNTUK USIA 5-6 TAHUN DI TKIT AL MUFID DI SUKATANI BEKASI
Oleh:
SISKAWATI
NPM. 20158400091
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
ANAK USIA DINI
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
KUSUMA
NEGARA JAKARTA
2018
PROPOSAL
ETNOLOGI
Nama
Peneliti :
Siskawati
NPM :
20158400091
Unit
Kerja :
TKIT AL MUFID,Sukatani Bekasi
Judul Penelitian : PEMANFAATAN PERMAINAN TRADISIONAL DALAM KEGIATAN
PEMBELAJARAN UNTUK USIA 5-6 TAHUN DI TKIT AL MUFID, SUKATANI Bekasi
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Penelitian
Pendidikan bagi anak usia dini merupakan program
pengembangan kemampuan
perkembangan bagi anak usia dini. Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 angka 14 menyatakan:
“Pendidikan
anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”
Pelaksanaan pendidikan anak usia
dini yang ditujukan bagi anak usia usia 0 hingga 6 tahun sepatutnya
memperhatikan tahap perkembangan anak di tiap umurnya. Pada setiap umur, anak
memiliki perbedaan perkembangan. Maka dari itu di setiap umur terdapat tahapan
pencapaian pekembangan, tahapan pencapaian perkembangan ini juga tidak terlepas
dari aspek-aspek perkembangan yang dimiliki oleh anak. Aspek-aspek perkembangan
tersebut ialah aspek kognitif, aspek fisik motorik, aspek bahasa, aspek sosial
emosional, dan aspek moral. Aspek perkembangan anak ini berjalan berdampingan
satu dengan yang lain, maksudnya dalam mengembangkan kemampuan keterampilan
anak, guru dan orangtua, tidak hanya berfokus pada satu aspek saja melainkan
memberikan rangsangan pada segala aspek pada waktu yang bersamaan.
Aspek perkembangan motorik merupakan
proses memperoleh keterampilan dan pola gerakan yang dapat dilakukan anak.
Keterampilan motorik diperlukan untuk mengendalikan tubuh (Moeslichatoen, 2004:
15). Perkembangan motorik ini mendukung perkembangan aspek-aspek lainnya.
Seluruh aspek perkembangananak tidak dapat berjalan terpisah karena akan
terjadi ketimpangan jika salah satu aspek tidak berjalan sesuai dengan yang
seharusnya. Keterampilan motorik kasar merupakan bagian dari perkembangan
motorik yang meliputi gerak seluruh tubuh atau sebagian besar tubuh.
Metode pengajaran yang sangat
efektif untuk mengoptimalkan kemampuan motorik anak adalah bermain. Bermain
menurut Gordon & Browne (dalam Moselichatoen, 2004: 24) merupakan pekerjaan
masa kanak-kanak dan cermin pertumbuhan anak. Anggani Sudono (2010: 1)
menyatakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa
mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi,
memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Berdasarkan kedua
pendapat tersebut dapat dimengerti bahwa bermain merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan
ilmu dan memberikan rasa senang yang dimulai sejak masa kanak-kanak. Bagi anak-anak,
bermain merupakan sarana untuk belajar dan menerima pengetahuan baru dengan
cara yang menyenangkan.
Bermain memberikan pelajaran bagi
anak-anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan saling bertukar informasi.
Permainan yang mendukung untuk interaksi ini terdapat dalam permainan
tradisional. Menurut James Danandjaja (dalam Keen Achroni, 2012: 45) permainan
tradisional adalah salah satu bentuk yang berupa permainan anak-anak, yang
beredar secara lisan, di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional
dan diwarisi turun-temurun, serta banyak mempunyai variasi. Sesuai dengan
pernyataan tersebut, Sukirman Dharmamulya (2008: 29) menyatakan bahwa permainan
tradisional juga dianggap sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memberi ciri
atau warna khas tertentu pada suatu kebudayaan. Dengan kata lain permainan tradisional
merupakan aset budaya untuk mempertahankan identitas di antara kumpulan
masyarakat yang berbeda.
Pada kegiatan pembelajaran Taman
Kanak-kanak sering kali permainan tradisional tidak diajarkan. Di TKIT AL Mufid,
Sukatani Bekasi tempat peneliti melaksanakan KKN, permainan tradisional jarang
dimainkan oleh anak-anak. Ketika pembelajaran, guru memilih membuat media baru
untuk menunjang pembelajaran. Sedangkan pada saat istirahat, anak lebih memilih
memainkan alat permainan yang ada seperti ayunan, jungkat-jungkit, dan papan
luncur, daripada menggambar pola permainan engklek dan memainkannya atau
bermain ular naga, yang hanya butuh pemain untuk pelaksanaannya. Anak-anak di TK
tersebut memliki sifat mudah menyerap hal baru, seandainya mereka diajari untuk
melakukan permainan tersebut, namun guru-guru yang ada di TKIT Rabbani tidak
mengajarkannya. Penyebabnya adalah keterbatasan tenaga guru, karena usia guru
TKIT Rabbani yang memasuki usia 50 tahun ke atas, sehingga tidak mampu meloncat
dan berlari melebihi kapasitas kemampuan mereka.
Sama seperti TK Rabbani, berdasarkan
pengamatan peneliti pada bulan Oktober 2017, TKIT AL Mufid, Sukatani Bekasi juga
jarang melaksanakan permainan tradisional di dalam pembelajarannya karena
keterbatasan halaman sekolah. Gedung sekolah TKIT Rabbani tidak luas, terdapat
pintu dan teras yang kecil dan halaman yang langsung berbatasan dengan jalan
yang sering dilewati kendaraan. Di seberang jalan terdapat tanah yang cukup
luas untuk bermain namun tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan karena sering
dipakai untuk tempat parkir mobil. Berbagai macam kendala tersebut yang
menyebabkan permainan tradisional tidak dapat dilaksanakan baik untuk
pembelajaran maupun diwaktu istirahat. Maka dari itu, untuk melaksanakan
pembelajaran, guru menggunakan media lain atau membuat kegiatan pembelajaran
lagi. Padahal banyak permainan tradisional yang dapat menunjang kegiatan
belajar anak.
Berdasarkan pengamatan peneliti dalam
setiap perbincangan di lingkungan sekitar, topik permainan tradisional banyak
diperbincangkan. Pembicaraan dengan topik permainan tradisional menimbulkan
banyak keluhan baik dari orang tua siswa tempat peneliti. Kesimpulan dari
seluruh keluhan tersebut adalah keprihatinan orang dewasa dalam permainan anak-anak
jaman sekarang. Menurut mereka, permainan modern dengan teknologi yang canggih
saat ini mengubah kepribadian anak-anak. Kebebasan untuk berkumpul, bermain,
dan bersenang-senang dengan teman sebaya tergantikan dengan permainan modern
yang bersifat individual. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu ketika
permainan tradisional masih menjadi primadona bagi anak-anak mulai usia TK
hingga Sekolah Dasar (SD).
Seorang wali siswa bernama Ira
Puspita mengungkapkan bahwa anak-anaknya lebih memilih bermain i-Pad dan playstation daripada berkumpul dan bermain dengan anak-anak yang
tinggal dilingkungannya. Permainan elektronik seperti yang ada di i-Pad dan playstation
mengajarkan rasa kompetitif bagi anak namun tidak mengajarkan interaksi kepada
orang lain, maka dari itu permainan elektronik dapat mengubah kepribadian
seseorang menjadi individualis
Permainan tradisional menurut Keen
Achroni (2012 : 45-48) mempunyai banyak kelebihan yaitu tidak memerlukan biaya
untuk memainkannya, melatih kreativitas anak, mengembangkan kecerdasan sosial
dan emosional anak, mendekatkan anak-anak pada alam, sebagai media pembelajaran
nilai-nilai, mengembangkan kemampuan motorik anak, bermanfaat untuk kesehatan, mengoptimalkan
kemampuan kognitif anak, memberikan kegembiraan dan keceriaan, dapat dimainkan
lintas usia, dan mengasah kepekaan anak. Kelebihan serta manfaat tersebut tidak
didapatkan dalam permainan modern dengan teknologi canggih. Kelebihan ini juga
didapatkan dalam pendidikan di sekolah. Bagi anak usia dini, Taman Kanak-kanak
(TK) merupakan pendidikan kedua setelah keluarga.
TKIT Al Mufid, Sukatani Bekasi merupakan
sekolah yang mengajarkan permainan tradisional dalam pembelajarannya. TKIT AL
Mufid, Sukatani Bekasi menyadari akan pentingnya permainan tradisional untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki anak usia dini. TKIT Al Mufid, Sukatani Bekasi melakukan
pengenalan serta pembiasaan permainan tradisional. Permainan tradisional
dilaksanakan seminggu tiga hingga empat kali dalam pembelajarannya dan pada
saat istirahat anak juga memainkannya. Namun tidak semua permainan tradisional dapat
dilakukan di TKIT Al Mufid, Sukatani Bekasi mengingat adanya keterbatasan
mengenai wilayah atau tempat bermain anak yang tidak terlalu luas, usia anak-anak
yang tidak mampu memahami seluruh permainan tradisional, dan jam pelajaran yang
singkat.
Bukan hanya satu jalan ke Roma,
prinsip ini digunakan oleh guru TKIT Al Mufid, Sukatani Bekasi untuk
mengajarkan permainan tradisional melalui kegiatan pembelajaran baik di dalam
maupun di luar kelas. Permainan tradisional yang dipakai oleh TKIT Al Mufid,
Sukatani Bekasi adalah ular naga dan petak umpet. Petak umpet digunakan guru-guru
untuk mengajarkan berhitung secara berurutan dan ular naga digunakan sebagai sarana
untuk melatih aspek perkembangan motorik anak.
Oleh karena itu, berdasarkan latar
belakang yang diuraikan di atas, maka peneliti mengangkat judul “Pemanfaatan
Permainan Tradisional untuk Kegiatan Pembelajaran di TKIT Al Mufid”
B.
Fokus
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis memfokuskan penelitian pada
a) Pemanfaatan permainan tradisional
untuk kegiatan pembelajaran di TKIT Al Mufid, Sukatani Bekasi.
C.
Rumusan
Masalah
Menurut
uraian latar belakang dan fokus penelitian maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
a) Bagaimana pemanfaatan permainan tradisional
untuk kegiatan pembelajaran di TKIT Al Mufid, Sukatani Bekasi?
D.
Kegunaan
Masalah
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat yang bersifat teoritis dan praktis antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Dapat
mengembangkan pengetahuan terkait permainan tradisional yang digunakan dalam
kegiatan pembelajaran, terutama di Taman Kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi kepala sekolah, meningkatkan
kualitas sekolah dan pengembangan pembelajaran di sekolah dalam pengajaran
permainan tradisional bagi siswa.
b) Bagi guru, meningkatkan kreativitas
guru dalam mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak dengan menggunakan
permainan tradisional sebagai kegiatan pembelajaran
c) Bagi
pembaca, penelitian ini semoga berguna dalam permainan tradisional dalam
mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak.
d) Bagi
peneliti. dapat mengetahui, mengklasifikasi jenis permainan tradisional yang
dapat mengembangkan aspek perkembangan anak usia dini serta melestarikan
lingkungan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Kegiatan
Pembelajaraan
1.
Pengertian
Pembelajaraan
Pengertian pembelajaran telah
dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Susilo (2007:177), pembelajaran merupakan
proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi
perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak
yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang sedang datang dari dalam
individu maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Tugas guru yang
paling utama dalam pembelajaran adalah mengkoordinasi lingkungan agar menunjang
terjadinya perubahan perilaku pada peserta didik. Menurut E. Mulyasa (2003 :
100) pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik
dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Tugas
pendidik atau guru yang paling utama dalam pembelajaran adalah mengkondisikan
lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik.
Pembelajaran memfokuskan seseorang
untuk mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Winataputra
(2008:119), menyatakan bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang
dirancang untuk meningkatkan terjadinya proses belajar pada siswa. Belajar
merupakan proses atau aktivitas mental yang tidak dapat dilihat kecuali gejala-gejalanya
saja yang tampak dari luar sebagai akibat interaksinya dengan lingkungan
sekitarnya (Sanjaya, 2006:100) 10 tahun terakhir. Istilah pembelajaran menunjukkan
”adanya usaha peserta didik untuk mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat
perlakuan guru” (Sanjaya, 2006: 102) 10 tahun terakhir. Berdasarkan uraian
beberapa pengertian di atas, dapa disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan
proses bersama antara guru dan murid dalam upaya menjadikan siswa memahami
suatu materi pelajaran, dalam hal ini siswa dan guru aktif dalam kegiatan
pembelajaran.
Pembelajaran pada anak usia dini
khususnya taman kanak-kanak pada dasarnya menerapkan esensi bermain. Esensi
bermain tersebut meliputi perasaan menyenangkan, gembira, aktif, dan
demokratis. Sehingga menarik anak untuk terlibat dalam setiap kegiatan
pembelajaran. Anak tidak betah untuk duduk tenang mendengarkan ceramah gurunya,
tetapi mereka aktif berinteraksi dengan berbagai benda dan orang
dilingkungannya, baik secara fisik maupun mental (Panitia Sertifikasi Guru Rayon XII Universitas Negeri Semarang
(2008: 15)
2.
Kegiatan
dalam Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran mencakup
aktivitas guru dan aktivitas siswa selama proses belajar mengajar. Keaktifan
guru dan siswa sangat penting dalam mencapai keberhasilan belajar. Keaktifan
belajar tercermin pada aktivitas siswa, namun aktivitas belajar itu sendiri
bermacam-macam.Sumadi Suryabrata (2006: 230) 10 tahun terakhir, ada aktivitas
yang jelas sebagai aktivitas belajar, ada pula yang tidak jelas karena aktivitas
tersebut terkait dengan pilihan atau kegemaran. Mengutip pendapat Paul B.
Diedrich (Nasution, 2010: 91) aktivitas dalam kegiatan belajar dapat berupa:
a. Visual
activities seperti membaca,
memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
b. Oral
Activities seperti
menyatakan, merumuskan, bertanya, member saran, berpendapat, diskusi,
interupsi.
c.
Listening Activities seperti mendengarkan uraian,
percakapan, diskusi, musik, pidato.
d.
Writing Activities seperti misalnya menulis cerita,
karangan, laporan, menyalin.
e.
Drawing Activities, seperti menggambar, membuat grafik,
peta, diagram.
f.
Motor Activities seperti yang termasuk di dalamnya
antara lain: melakukan percobaan, membuat konstraksi, model, mereparasi,
berkebun, beternak.
g.
Mental Activities seperti menanggapi, mengingat,
memecahkan soal, menganalisis, mengambil keputusan.
h.
Emotional Activities seperti misalnya, merasa bosan,
gugup, melamun, berani, tenang.
Keaktifan siswa dalam belajar tampak dalam kegiatan berbuat
sesuatu untuk memahami materi pelajaran. Menurut Uzer Usman (2002: 26) 10 tahun
terakhir cara yang dapat dilakukan guru untuk memperbaiki keterlibatan siswa
antara lain sebagai berikut.
a. Tingkatkan persepsi siswa secara
aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang membuat respon aktif dari siswa.
b. Masa transisi antara kegiatan dalam
mengajar hendaknya dilakukan secara cepat dan luwes
c. Berikan pelajaran yang jelas dan
tepat sesuai dengan tujuan mengajar yang dicapai
d. Usahakan agar pengajaran dapat lebih
mengacu minat siswa
Penjelasan
dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran
merupakan aktivitas belajar, baik aktivitas tersebut tampak jelas ataupun
tidak. Aktivitas yang jelas tampak yaitu segala aktivitas visual, oral, listening, writing, drawing, dan
aktivitas motor. Aktivitas yang bisa jadi tidak tampak yaitu aktivitas mental
dan emosional.
3.
Faktor-Faktor
dalam Pembelajaraan
Kegiatan pembelajaran melibatkan
banyak factor yaitu guru, siswa, materi pelajaran, metode belajar, fasilitas
belajar serta evaluasi belajar seperti diuraikandi bawah ini.
a. Guru
Guru memiliki tiga peran utama dalam
proses belajar dan mengajar di sekolah, yaitu: sebagai perancang pengajaran,
sebagai manajer pengajaran, berperan melakukan evaluasi pengajaran (Deporter
dkk, 2001:121) 10 tahun teakhir. Dilihat dari kegiatan yang melibatkan guru,
guru memiliki banyak peran yaitu:
Ø Pembimbing
Ø Guru
Ø Modernis
Ø Model
Ø Peneliti
Ø Konselor
Ø Pencipta
Ø Pemberi inspirasi
Ø Aktor
Ø Pengevaluasi
b. Siswa
Setiap peserta didik memiliki
karakteristik individual yang khas dan terus berkembang meliputi perkembangan
emosional, moral, intelektual, dan sosial. Perkembangan ini berpengaruh
terhadap kemampuan peserta didik sebagai subjek pendidikan (Sunarto dan
Hartono, 2002: 181).
c. Materi
Pembelajaran
Materi pembelajaran merupakan bagian
dari kurikulum yang disajikan dalam pembelajaran. Menurut Saodih dan Ibrahim
(2003 100) 10 tahun terakhir ”materi pembelajaran merupakan suatu yang disajikan
guru untuk diolah dan kemudian dipahami oleh siswa, dalam rangka pencapaian
tujuan intruksional yang telah ditetapkan”.
d. Metode
Belajar
Metode secara sederhana berarti
“suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai
tujuan pendidikan” (Mahmud dan Priatna, 2005: 51) 10 tahun terakhir.
e. Sarana
Belajar
Pengertian sarana pendidikan menurut
Suharsimi Arikunto (2008:273) merupakan “semua fasilitas yang diperlukan dalam
proses belajar mengajar baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar
pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan
efisien.” Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam
mencapai maksud atau tujuan tertentu, sedangkan menurut E. Mulyasa (2004:49)
sarana pendidikan adalah “peralatan dan perlengkapan yang secara langsung
dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar, mengajar
seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi serta alat dan media pengajaran.”
f. Evaluasi
Belajar
Evaluasi didefinisikan sebagai
penelitian yang sistemik atau yang teratur tentang manfaat atau guna bebe rapa
objek (Tayipnapis, 2000: 5). Dengan 15 demikian, evaluasi akan menghasilkan
informasi tentang pelaksanaan dan manfaat suatu program. Informasi ini dapat digunakan
untuk memperbaiki pelaksanaan itu sendiri, perbaikan program maupun untuk
dipertanggungjawabkan oleh pelaksana
B.
Permainan
Tradisional
1.
Pengertian
Permainan Tradisional
Permainan adalah sebuah aktivitas
yang menyenangkan dengan terlibat di dalamnya, ketika fungsi serta bentuknya
bervariasi (Santrock, 2011: 124). Permainan merupakan sarana bagi anak untuk
mencurahkan energi melalui aktivitas atau kegiatan yang menyenangkan. Bagi
Daniel Berlyne (dalam Santrock, 2011: 124) permainan digambarkan sebagai
sesuatu yang menarik danmenyenangkan karena memuaskan dorongan eksplorasi kita.
Piaget (dalam Santrock, 2004: 124) 10 tahun terakhir juga menyatakan bahwa
permainan memajukan perkembangan kognitif anak-anak.
Berdasarkan pernyataan di atas,
dapat disimpulkan bahwa permainan berarti sebagai sebuah aktivitas yang
menyenangkan dan memuaskan dorongan eksplorasi serta dapat mengembangkan
kemampuan kognitif anak-anak. Melalui permainan, segala aktivitas menjadi
menyenangkan. Bagi anak, secara sadar ataupun tidak, dirinya meningkatkan
potensi kecerdasan dalam dirinya. Anak belajar untuk mengeksplorasi kemampuan
dirinya, mengalami sendiri kejadian sehari-hari, menemukan solusi bagi
permasalahan yang dihadapinya, dan mengembangkan imajinasi untuk
menciptakan sesuatu maupun berinovasi terhadap suatu hal yang sudah tercipta.
Anggani Sudono (2010: 1) menyatakan
bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan
alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan
maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Definisi lebih lanjut telah
dijelaskan oleh Huizinga (dalam Sukirman Dharmamulya, 2008: 19) bahwa bermain
sebagai voluntary activity existing
outside ordinary life, totally absorbing, unproductive, occurring within
acircumscribed time and space ordered by rules and characterized by group relationships
which surround themselves by secrecy and disguise. Schwartzman (dalam
Sukirman Dharmamulya 2008: 20) mendefinisikan bermain sebagai persiapan untuk
menjadi dewasa, suatu pertandingan yang akan menghasiilkan yang kalah dan yang
menang, perwujudan dari rasa cemas dan marah, dan suatu hal yang tidak sangat
penting dalam masyarakat. Bermain merupakan naluri alamiah yang telah melekat
pada diri anak sejak bayi (Achroni, 2012: 15). Berdasarkan definisi para ahli
tersebut bermain merupakan aktivitas yang menyenangkan yang menghasilkan
pengetahuan yang dilakukan dengan senang hati tanpa keterpaksaan yang
melibatkan kegiatan seluruh tubuh.
James Danandjaja (dalam Achroni,
2012: 45) mengungkapkan permainan tradisonal adalah salah satu bentuk yang
berupa permainan anak-anak yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif
tertentu, berbentuk tradisional dan diwarisi turun-temurun, serta banyak mempunyai
variasi. Para ilmuwan sosial dan budaya Indonesia menyatakan bahwa permainan
tradisional merupakan unsure - unsur
kebudayaan yang tidak dapat dianggap remeh, karena permainan ini memberikan
pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan kejiwaan, sifat, dan kehidupan
sosial anak di kemudian hari (Budisantoso dkk., dalam Dharmamulya, 2008: 29).
Sukirman Dharmamulya (2008: 29) juga mengungkapkan bahwa permainan tradisional
juga dianggap sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memberi ciri atau warna
khas tertentu pada suatu kebudayaan maka dari itu permainan tradisonal anak-anak
juga dapat dianggap sebagai aset budaya sebagai modal bagi suatu masyarakat
untuk mempertahankan keberadaannya dan identitasnya di tengah kumpulan
masyarakat yang lain.
Pernyataan para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa permainan tradisional merupakan permainan yang memiliki unsur
kebudayaan yang beredar secara lisan dan turun-temurun serta memiliki beragam
variasi yang memberikan banyak pengaruh pada perkembangan sifat, kejiwaan, dan
sosial anak di kemudian hari. Selain pengaruh pada perkembangan tersebut,
permainan tradisional juga memberikan manfaat untuk perkembangan fisik motorik
anak usia dini karena beberapa variasi permainan tradisional membutuhkan
aktivitas gerakan sebagian besar tubuh.
2.
Fungsi
Permainan Tradisional
Permainan yang merupakan bagian
penting dari kehidupan serta perkembangan anak-anak memiliki banyak fungsi.
Para ahli dan teoretikus mengemukakan berbagai macam fungsi permainan
berdasarkan pada aspek-aspek yang berbeda dari permainan. Freud dan Erikson
menyatakan bahwa permainan berfungsi untuk membantu anak mengatasi kecemasan
dan konflik (Santrock,2011: 124). Ketegangan reda dalam permainan sehingga anak-anak
mampu mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Jika ketegangan yang dialami
anak terus menumpuk berpotensi menimbulkan konflik. Oleh karena itu para
terapis menggunakan permainan sebagai salah satu sarana dalam terapi mereka
untuk memecahkan konflik anak serta menemukan cara untuk mengatasinya. Melalui
permainan anak dapat mengekspresikan diri dan tidak merasa terancam.
Piaget (dalam Santrock, 2011: 124)
menyatakan bahwa permainan memajukan perkembangan kognitif anak. Hal ini
dibuktikan dengan anak-anak yang mempraktekkan kemampuan mereka dalam permainan
serta memperoleh keterampilan baru melalui cara yang santai dan menyenangkan.
Permainan mendorong anak untuk melakukan eksplorasi, terlibat dalam suatu
kegiatan yang kompleks namun menggembirakan. Melalui eksplorasi, anak mendapatkan
informasi baru secara aman serta memuaskan rasa ingin tahu. Permainan juga berperan
penting dalam perkembangan bahasa anak. Interaksi sosial yang terjadi selama
permainan berguna bagi keterampilan membaca dan menulis anak-anak (Coplan &
Arbeau dalam Santrock, 2011: 124). Maka dari itu, permainan memiliki peranan
penting sebagai sarana untuk membantu mengembangkan aspek perkembangan anak.
Berdasarkan pernyataan para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan berfungsi untuk mengatasi kecemasan
dan konflik, membantu mengembangkan kemampuan kognitif, bahasa, dan interaksi
sosial yang dimiliki anak.
3.
Jenis
Permainan Tradisional
Sebagai salah satu wujud budaya yang
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya,
permainan tradisional memiliki banyak macam serta jenis. Permainan tradisional
juga ditampilkan menurut kategorisasi pola permainan. Kategorisasi tersebut
antara lain berm ain dan bernyanyi, dan atau dialog; bermain dan olah pikir;
serta bermain dan adu ketangkasan (Dharmamulya, 2008: 35). Namun tidak semua
permainan tradisional dapat dilaksanakan dalam kegiatan TK. Sesuai dengan
perkembangan yang dialami oleh anak TK, maka permainan tradisional yang mampu
dilaksanakan dalam kegiatan TK antara lain sebagai berikut:
a) Cublak-Cublak
Suweng
Permainan Cublak-cublak suweng merupakan
permainan asal Pulau Jawa yang dimainkan oleh sekelompok anak. Keen Achroni
(2012: 146) menjelaskan bahwa sebelum memulai permainan para peserta melakukan hompimpah
atau pingsut untuk menentukan siapa yang jadi. Anak yang jadi kemudian duduk di
tengah dengan menelungkupkan badan sementara yang lain duduk mengelilingi anak
yang jadi dan meletakkan telapak tangan menghadap ke atas pada punggung anak
yang jadi. Salah seorang dari mereka, mengambil sebuah kerikil atau benda kecil
lainnya dan memindahkan kerikil dari telapak tangan satu ke telapak tangan yang
lain sambil bernyanyi cublak-cublak suweng
Lirik lagu cublak-cublak suweng adalah
sebagai berikut: Cublak cublak suweng,
suwenge teng gelenter. Mambu ketundhung gudhel, pak empo lera-lere. Sopo ngguyu
ndhelikake Sir sirpong dele kopong, sir sirpong dele kopong
Lagu dapat dinyanyikan hingga dua
kali dan pada saat bersamaan kerikil dipindah-pindah dari tangan ke tangan.
Pada bait terakhir semua anak yang duduk mengitari anak yang jadi menggenggam
tangan dan menyentuhkan serta memainkan kedua telunjuk, hal ini untuk mengecoh
anak yang jadi agar sulit menebak pemain mana yang memegang kerikil. Anak yang
jadi bangun dari posisinya, kemudian menebak pemain yang menggenggam kerikil.
Jika tebakannya benar, maka anak yang memegang kerikil bergantian jadi, namun
jika salah maka anak yang menebak tadi tetap menjadi pemain yang jadi.
Permainan ini dilakukan berulang-ulang, sehingga untuk mengakhirinya butuh kesepakatan
diantara pemain.
Manfaat yang didapat dari
bermaincublak-cublak suweng (Achroni, 2012:147) adalah:
Ø Memberikan kegembiraan pada anak
Ø Membangun sportivitas anak
Ø Melatih kemampuan anak untuk jeli
mengamati dan membaca keadaan sehingga dapat menebak dengan jitu
Ø Mengasah kepekaan musikal anak
karena dimainkan sekaligus dengan bernyanyi
Ø Sebagai media bagi anak untuk
berinteraksi
Permainan cublak-cublak suweng ini
dapat dilakukan oleh anak umur 4-6 tahun. Mereka tidak perlu susah payah untuk
berpikir, hanya melakukan saja maka anak dapat menjalankannya dengan baik.
b) Jamuran
Permainan
tradisional Jawa lainnya adalah jamuran. Keen Achroni (2012:140) menjelaskan
bahwa permainan ini dilakukan secara bersama-sama dengan menyanyikan lagu
dolanan anak. Pola lantai permainan jamuran ini adalah sebuah lingkaran dengan
satu anak menjadi pusat atau berdiri di tengah. Penentuan siapa yang akan
menjadi pusatnya adalah dengan hompimpah atau pingsut. Selanjutnya, anak yang
lain bergandengan tangan mengelilingi anak yang di tengah dan bergerak memutar
berbentuk lingkaran sambil menyanyikan sebuah lagu. Syair lagu adalah: Jamuran ya ge ge thok, jamur apa ya ge ge thok.
Jamur gajih mbrejijih sak ara ara, sira badhe jamur apa?
Usai menyanyikan lagu tersebut, anak
yang jadi kemudian menjawab. Misalnya anak tersebut menyebutkan jamur patung,
maka yang lain harus bermain berpura-pura menjadi patung. Setelah semua menjadi
patung, anak yang jadi menggoda teman-temannya. Jika di antara patung-patung
tersebut ada yang bergerak, tersenyum, tertawa, atau berbicara, maka ia
mendapat giliran jadi dan permainan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu lagi.
Terdapat banyak pilihan jawaban untuk anak yang jadi tersebut, misalnya jamur
telepon, jamur kursi, jamur monyet, jamur gajah, atau jamur motor. Anak-anak
yang berada di lingkaran berpura-pura menjadi apa yang disebutkan temannya yang
jadi.
Permainan ini sangat menyenangkan
dan juga mengajarkan anak untuk berimajinasi. Mereka berlatih untuk menjadi
sesuatu. Permainan ini memberikan banyak manfaat, antara lain:
Ø Melatih spontanitas dan memahami
instruksi dengan cepat
Ø Memberikan kegembiraan karena
permainan ini diwarnai oleh berbagai kelucuan
Ø Memperkaya perbendaharaan kosakata
anak karena permainan ini diiringi dengan nyanyian
Ø Mengasah kecerdasan kinestetik anak
karena permainan ini dimainkan dengan melakukan berbagai gerakan mulai dari
berjalan melingkar hingga menirukan berbagai gerakan sebagaimana anak “yang
jadi”.
Permainan jamuran dapat
mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak, karena permainan ini melatih
kognitif anak dengan membayangkan menjadi sesuatu yang disebutkan, melatih
moral dengan mengajarkan suportivitas, melatih kemampuan fisik motorik anak,
melatih sosial emosional anak dengan adanya interaksi antar anak, dan melatih
kemampuan bahasa anak karena dalam permainan ini anak mendapatkan
perbendaharaan kata baru.
c) Ular
Naga
Permainan ini biasanya dilakukan
dalam jumlah yang banyak. Keen Achroni (2012: 142) menjelaskan sebelum memulai
permainan, anak-anak memilih dua orang temannya untuk menjadi “gerbang”
(menyatukan tangan kedua anak di atas kepala membentuk “gerbang”). Anak- anak
yang lain membentuk barisan kebelakang dan memegang pundak temannya kecuali
anak terdepan. Kemudian, anak dalam barisan tersebut masuk ke dalam gerbang dan
mengelilingi penjaga gerbang (seperti ular) sambil menyanyikan lagu: Ular naga panjangnya bukan kepalang. Menjalar-jalar
selalu kian kemari. Umpan yang lezat itulah yang dicari. Ini dia yang
terperangkap.
Pada saat lagu habis, kedua anak
yang menjadi gerbang akan menurunkan tangan dan menangkap anak yang tepat
berada di antara mereka. Pemain yang tertangkap kemudian memilih untuk
bergabung dengan salah seorang penjaga gerbang dan berbaris dibelakangnya.
Permainan dilanjutkan kembali sampai semua terbagi dalam dua kelompok penjaga
gerbang. Seluruh anggota kelompok berpegangan pada pinggang teman didepannya.
Kelompok dengan jumlah paling sedikit harus mengejar dan menangkap pemain
paling belakang dari kelompok lain. Anak yang berada paling depan menjadi
kepala. Bagi kelompok yang paling sedikit, anak terdepan menjadi pemain yang
menangkap pemain paling belakang kelompok lawan. Sedangkan bagi kelompok dengan
jumlah anggota terbanyak, anak terdepan menjadi pelindung anggota.
Pemain paling belakang, yang menjadi
incaran, harus memegang kuat-kuat pinggang teman didepannya sehingga tidak
mudah ditarik lawan. Selain itu, pemain belakang harus lincah berlari
menghindari lawan. Jika pegangan pemain belakang terlepas, maka pemain tersebut
kalah dan harus pindah ke barisan kelompok lawan. Permainan dilanjutkan hingga
pemain dari kelompok yang panjang habis. Kelompok dengan pengikut paling banyak
adalah pemenang.
Permainan ular naga ini memberikan
banyak manfaat. Manfaat permainan ini seperti yang dijelaskan Keen Achroni
(2012: 144) adalah sebagai berikut:
Ø Memberikan kegembiraan pada anak
Ø Mengajarkan kerja sama tim,
kekompakan, kebersamaan, dan kesetiakawanan
Ø Mengajarkan semangat pantang
menyerah untuk meraih kemenangan
Ø Mengasah kecerdasan musikal anak
karena dimainkan sambil bernyanyi
Ø Mengajarkan toleransi dan
menghormati pilihan orang lain
Ø Sebagai media bagi anak untuk
berinteraksi dan bersosialisasi denganteman-teman di lingkungan sekitar
d) Petak
umpet
Permainan petak umpet adalah
permainan yang terkenal di seluruh wilayah Indonesia. Permainan ini sangat
nasional bahkan internasional, karena di Inggris permainan ini juga dikenal dan
disebut hide and seek. Prinsip
permainan ini adalah menemukan teman yang bersembunyi (Achroni, 2012: 67).
Semakin banyak anak yang mengikuti petak umpet, makan permainan semakin asyik
dan menyenangkan. Permainan ini diawali dengan menentukan giliran jaga. Giliran
jaga ini ditentukan dengan hompimpah dan pingsut. Setelah hompimpah dan pingsut,
anak yang mendapat giliran jaga memejamkan mata dan menghadap tembok, pohon,
atau apa saja agar dia tidak dapat melihat teman-temannya bersembunyi. Tempat
tersebut biasa disebut benteng, daerah lain ada yang menyebut hong, bon, atau inglo. Anak yang
mendapat giliran jaga tersebut bertugas menghitung selagi anak lain
bersembunyi.
Ada beberapa versi menghitung. Ada
yang menghitung berdasarkan kesepakatan. Misal 10 hitungan, 20, 30, dan
seterusnya. Versi lain dengan cara seorang anak yang akan bersembunyi berdiri
di belakang anak yang bersembunyi kemudian Njawil atau mencolek punggung
temannya. Anak yang mendapat giliran jaga berbalik dan menebak jari mana yang
tadi digunakan untuk njawil. Jika benar maka anak tersebut hanya menghitung
sepuluh hitungan, jika salah maka setiap jari yang ditebak bernilai 10 hitungan
dan berlaku akumulasi hingga jari yang dipakai njawil tertebak. Saat menentukan
hitungan ini, anak dapat menggunakan kedua tangan atau hanya satu tangan,
maksimal hitungan 100. Siswa TK belum mampu berhitung lebih dari 10, walaupun
ada yang mampu hingga 30. Sehingga jika permainan ini di terapkan bagi anak TK,
maka hitungan yang dapat digunakan adalah 10 hitungan.
Usai menentukan hitungan, anak yang jaga
mulai menghitung, sedangkan teman-temannya yang lain mencari tempat
bersembunyi. Setelah menyebutkan hitungan yang terakhir, anak yang jaga mencari
dimana teman-temannya bersembunyi. Setiap kali menemukan temannya yang
bersembunyi, anak yang jaga harus berlari secepat mungkin menuju benteng,
menyentuh benteng, dan meneriakkan nama anak yang ditemukannya. Pencarian ini
dilakukan berulang kali hingga seluruh teman-temannya ditemukan. Pemain yang
jaga dinyatakan kalah ketika pemain yang bersembunyi lebih cepat sampai ke
benteng dan menyentuh benteng atau ketika pemain yang jaga sudah sampai di
benteng namun lupa menyebutkan nama teman yang ditemukan.
Pemain jaga akan tetap menjadi
pemain jaga jika ada salah satu temannya yang mampu menyentuh benteng untuk
menyelamatkan teman yang kalah tanpa diketahui olehnya. Peraturan dengan versi
lain, seluruh anak yang bersembunyi mampu menyentuh benteng lebih cepat atau
tanpa diketahui pemain jaga. Peraturan ini berlaku tergantung kesepakatan para
pemain petak umpet. Ketika pemain jaga mampu mengalahkan semua pemain yang
bersembunyi, maka pemain jaga berhak menjadi pemain yang bersembunyi dan
perannya digantikan oleh salah satu temannya yang kalah. Cara untuk menentukan
siapa yang menjadi pemain jaga selanjutnya ada berbagai versi.
Versi pertama adalah anak yang
paling pertama dikalahkan, tempat persembunyiannya diketahui dan tidak lebih
cepat untuk menyentuh benteng, oleh pemain jaga. Versi lainnya ialah dengan
menebak urutan baris. Anak-anak yang kalah akan bersembunyi dibelakang pemain
jaga yang memejamkan mata menghadap benteng. Pemain jaga akan menyebutkan nomor
urut temannya yang berbaris dibelakang. Anak yang berada diurutan yang telah
disebutkan pemain jaga kemudian medapat giliran jaga selanjutnya, sedangkan
pemain jaga yang sebelumnya ikut bersembunyi. Anak-anak mengulangi lagi
permainan tersebut.
Permainan petak umpet ini sangat
menguras tenaga, namun menyenangkan bagi anak. Mereka belajar banyak melalui
permainan ini. Selain belajar berhitung dengan benar, petak umpet mengajarkan
anak-anak untuk sabar mencari temannya yang bersembunyi, teliti mencari tempat
persembunyian, kerja keras agar tidak ketahuan, berpikir bagaimana caranya agar
selamat, kesetiakawanan, dan melatih kecepatan berlari. Manfaat ini juga
diungkapkan oleh Keen Achroni (2012: 69-70) yang secara rinci menjelaskan,
antara lain:
Ø Memberikan kegembiraan pada anak
Ø Melatih kemampuan berhitung anak.
Hal ini didapatkan karena anak yang mendapat giliran jaga mengawali permainan
dengan berhitung.
Ø Melatih ingatan anak. Aturan main
yang mengharuskan pemain jaga meneriakkan nama anak yang ditemukannya akan
membuat anak secaratidak langsung menghafal nama-nama temannya.
Ø Melatih kesabaran dan sportivitas
anak. Ketika mendapat giliran jaga,maka anak bersabar dalam menemukan temannya
yang bersembunyi dan saat anak menjadi pemain yang bersembunyi harus sportif
dan mengakui kekalahan jika dinyatakan kalah dalam permainan.
Ø Mengasah ketelitian anak. Pemain
yang mendapat giliran jaga mengasah ketelitiannya dengan menyusuri satu demi
satu tempat persembunyian teman-temannya. Sedangkan bagi mereka yang berperan
sebagai pemain yang bersembunyi, ketelitian mere ka terasah ketika harus
menemukan tempat persembunyian yang memiliki peluang kecil untuk dapat ditemukan.
Permainan ini sangat digemari anak-anak
karena menyenangkan dan mereka dapat menyalurkan energi berlebih yang dimiliki.
Sorakan demi sorakan mewarnai permainan ini, karena mereka akan saling
mendukung satu dengan yang lain
e) Lompat
tali
Permainan ini merupakan permainan
yang biasanya dilakukan anak perempuan, walaupun banyak anak laki-laki yang
ikut permainan ini. Karet gelang yang dirangkai hingga panjangnya mencapai 3-4
meter merupakan peralatan yang digunakan dalam permainan ini (Achroni, 2012:
71). Lompat tali dilakukan oleh 3 sampai dengan jumlah yang tidak terbatas.
Permainan ini biasanya dilakukan di halaman agar anak-anak bebas melompat.
Sebelummemulai permainan, anak-anak menentukan pemain yang memegang tali. Pemegang
tali berjumlah 2 orang dan masing-masing memegang ujung tali. Pemilihan pemegang
tali dilakukan dengan hompimpah atau pingsut. Cara hompimpah atau pingsut memang
menjadi ciri khas dalam permainan tradisional dalam menentukan sesuatu.
Pemain yang tidak bertugas untuk
memegang tali juga melakukanhompimpah atau pingsut untuk menentukan giliran
bermain. Pemegang tali juga melakukan pingsut yang kedua kali untuk menentukan
siapa yang akan melompat jika ada pemain lain yang gagal melompat. Kedua
pemegang tali merentangkan tali dan pemain yang lain mulai melompati tali satu
per satu sesuai dengan urutan pingsut.
Karet atau tali yang harus dilompati
memiliki tingkatan dari setinggi mata kaki, lalu naik ke lutut, paha, hingga
pinggang (Achroni, 2012:71). Pada tingkatan ini, pemain melompat tanpa
menyentuh tali karet. Pemain dinyatakan mati ketika bagian tubuhnya menyentuh
karet dan dia digantikan oleh pemegang tali yang menang pingsut. Tugas pemain
yang mati tersebut menjadi pemegang tali, menggantikan pemegang tali
sebelumnya. Pemain yang baru masuk mengikuti tingkatan selanjutnya, dia tidak
lagi mengulangi tingkatan dari bawah. Tingkatan atau tahapan lompat tali
berlanjut dari pinggang naik ke dada, dagu, telinga, ubun-ubun (kepala), dan
yang paling tinggi tingkatan dengan tangan yang diangkat ke atas dengan kaki
berjinjit.
Pada tingkat dada hingga tingkat
yang paling atas, pemain diperbolehkanmenyentuh tali agar dapat melewatinya
namun tidak boleh terjerat. Lompat tali semakin menarik di tingkatan ini,
karena terdapat beberapa gerakan khusus. Beberapa gerakan tersebut adalah
gerakan seperti berenang (kedua tangan direntangkan, secara bersamaan
melilitkan tangan ke tali karet kemudian tali karet yang ada di depan dada
ditarik melewati kepala dan memutar tangan dengan arah terbalik dari lilitan
awal), gerakan yang menggunakan jari telunjuk sebagai alat bantu untuk
melompat, dan gerakan melilitkan kaki satu per satu pada tali karet. Gerakan-gerakan
ini sebagai alat bantu untuk melompat. Alat bantu luar selain jari tangan.
Setiap pemain yang gagal pada satu tingkatan, maka dia harus menjadi pemegang tali
dan pemegang tali mendapat giliran bermain.
Lompat tali akan diulangi dari awal,
tingkat mata kaki, jika semua tahap ketinggian sudah dilewati. Permainan
diakhiri sesuai dengan kesepakatan para pemain. Lompat tali juga memiliki versi
lain, yakni dengan mengayunkan tali. Tali diayunkan membentuk lingkaran. Kedua
pemegang tali harus mengayun dengan bersamaan sehingga membentuk lingkaran.
Pemain lainnya harus sampai keseberang dengan melompati tali yang bergerak
tersebut tanpa tersentuh. Versi lain dengan memanfaatkan ayunan tersebut adalah
menyamakan ritme untuk 10 kali lompatan. Satu demi satu pemain melompat pada
tali yang diayunkan. Setelah semua pemain masuk, hitungan lompatan dimulai.
Lompat tali ini membutuhkan kerja sama yang bagus dari seluruh pemain.
Permainan ini biasanya dilakukan oleh anak perempuan, tapi banyak juga anak
laki-laki juga memainkan lompat tali. Mereka tidak segan untuk memainkan
permainan ini bersama anak perempuan.
Permainan tradisional selalu
memberikan manfaat, begitu juga dengan lompat tali. Selain memberikan
kegembiraan pada anak seperti yang dijelaskan Keen Achroni (2012: 73), manfaat
permainan ini adalah sebagai berikut:
Ø Melatih semangat kerja keras anak-anak
Ø Melatih kecermatan anak
Ø Melatih motorik kasar anak
Ø Melatih keberanian dan mengasah
kemampuan anak untuk mengambil keputusan
Ø Menciptakan emosi positif bagi anak
Ø Menjadi media untuk bersosialisasi
Ø Membangun sportivitas anak
Walaupun permainan ini banyak
dimainkan oleh anak perempuan, namun realitanya anak laki-laki juga ikut
memainkan ini. Lompat tali melatih anak untuk mencari jalan keluar untuk
menghadapi suatu rintangan atau tantangan. Maka dari itu, permainan ini cocok
menjadi salah satu kegiatan pembelajaran TK dalam mengembangkan aspek
perkembangan anak
f) Engklek
Engklek merupakan permainan anak
yang dilakukan dengan cara melompat dengan satu kaki (Sukirman Dharmamulya,
2008: 145). Permainan engklek bersifat kompetitif namun tidak memberikan
hukuman bagi yang kalah. Permainan ini mengajarkan keberanian kepada anak anak
karena tidak perlu takut atau malu walaupun kalah. Engklek mengandung
unsur-unsur yang melatih keterampilan, keseimbangan, ketangkasan seperti yang
ada pada saat berolahraga. Melalui permainan ini, keterampilan motorik kasar
anak berupa kemampuan melompat dan meloncat secara terkoordinasi dapat
dikembangkan. Permainan ini dapat dimainkan di pelataran tanah, aspal, semen,
dan konblok. Sebelum bermain, terlebih dahulu menggambar pola permainan di
arena yang akan digunakan.
Banyaknya penggemar permainan engklek
menyebabkan ketenaran permainan ini tak pudar dimakan waktu. Penggemar engklek,
anak-anak jaman lampau, merasakan manfaat dari permainan ini salah satunya
adalah melatih keterampilan melompat dan meloncat secara terkoordinasi.
Walaupun Sukirman Dharmamulya (2008: 145) menyebutkan permainan engklek dimainkan
oleh anak berusia antara 7-14 tahun, namun anak TK usia 4-6 tahun juga mampu memainkan
permainan ini. Anak usia 4-6 tahun termasuk dalam bawang kothong yang berarti
pemain tidak mempunyai hak dan kewajiban tetapi diizinkan mengikuti permainan
(Dharmamulya, 2008: 145).
Permainan engklek memiliki beberapa
manfaat atau keuntungan serta kerugian. Keuntungan atau manfaat yang didapatkan
dari permainan engklek menurut Keen Achroni (2012: 53) sebagai berikut:
Ø Memberikan kegembiraan pada anak
Ø Menyehatkan fisik anak. Sebab
permainan ini dimainkan dengan Banyak gerak, yaitu melompat
Ø Melatih keseimbangan tubuh (melatih
motorik kasar) anak karena permainan ini dimainkan dengan cara melompat
menggunakan satu kaki
Ø Mengajarkan kedisiplinan untuk
mematuhi aturan permainan
Ø Mengembangkan kemampuan
bersosialisasi anak karena engklek dimainkan secara bersama-sama.
Ø Mengembangkan kecerdasan logika
anak, yaitu melatih anak untuk berhitung dan menentukan langkah-langkah yang
harus dilewatinya.
Selain manfaat, terdapat kekurangan
dalam permainan ini. Kekurangan permainan engklek yaitu:
Ø Jika dilakukan hanya satu anak,
esensi dari permainan menjadi tidak lengkap
Ø Membutuhkan lahan
Ø Membutuhkan waktu dan kesabaran yang
lebih banyak jika menjelaskan aturan main pada anak usia di bawah 7 tahun.
Engklek
membutuhkan paling sedikit dua pemain dan paling banyak enam pemain (jika
berlebih, akan memakan waktu yang lama dalam perputaran pemain). Pemain
kemudian mencari arena untuk menggambarkan pola engklek. Jika di tanah, gambar
pola menggunakan kayu. Jika di aspal, semen, atau konblok, pola digambar
menggunakan kapur agar terlihat dan tidak mudah terhapus. Ada beberapa pola
permainan engklek dan setiap pola cara permainannya juga berbeda.Untuk anak
usia 4-5 tahun, pola yang sesuai untuk mengembangkan kemampuan melompat dan
meloncat secara terkoordinasi adalah pola gunung sederhana dan pesawat.
Ada
berbagai macam variasi permainan engklek, namun semua berasal dari satu cara
dasar. Dasar bermain engklek adalah sebagai berikut:
a)
Pemain
melakukan undian dengan cara hompimpah atau suit (sut) untuk menentukan siapa
yang mengawali permainan. Hompimpah dilakukan jika pemain ada 3 orang atau
lebih, sedangkan sut digunakan untuk 2 orang pemain. Urutan bermain sesuai
dengan pemenang pada masing-masing undian.
b)
Setelah
didapatkan urutan bermain, para pemain mempersiapkan gacuk atau kreweng.Gacuk atau
kreweng berupa pecahan genting, batu pipih, uang koin, atau potongan-potongan kayu.
Gacuk yang digunakan adalah gacuk yang tidak mudah pecah, biasanya menggunakan
koin karena mudah didapat, ringan, dan tidak mudah pecah jika digunakan di
arena yang keras.
c)
Anak
berdiri di area pentasan, area yang berada di luar pola sejajar dengan petak
pertama. Pemain pertama melemparkan gacuk dari pentasan ke petak pertama.
Kemudian melompat, satu kaki menapak dan kaki lain menggantung, ke petak kedua
dan ke petak-petak selanjutnya. Petak yang terdapat gacuk tidak boleh
dilompati, harus dilewati.
d)
Pada
pola gunung sederhana, terdapat 5 petak. Jika pemain melemparkan gacuk pada
petak pertama maka lompatan pertama ada pada petak kedua, kemudian berlanjut
melompat ke petak ketiga, keempat, dan obrog (kedua kaki menginjak tanah) di
petak kelima. Setelah obrog, pemain membalikkan badan dan melompat lagi
melewati petak 4, 3, dan 2. Dipetak ke-2 anak harus mengambil gacuk dengan
posisi satu kaki menggantung. Ketika gacuk sudah didapatkan, pemain kemudian melompat
ke area pentasan. Satu putaran telah dijalani.
e)
Permainan
ini dilakukan sebanyak 5 putaran. Untuk mengetahui banyak putaran, lawan main
melihat gacuk berada pada petak ke berapa. Khusus untuk gacuk yang ada pada petak
obrog, pemain mengambil gacuk tetap dengan satu kaki menggantung dan kesempatan
obrog hilang. Setelah pemain menyelesaikan putaran sesuai dengan banyak petak,
maka selanjutnya anak akan menetapkan sawah. Sawah dalam permainan engklek berarti
pemain mendapatkan nilai. Untuk menetapkan sawah, pemain berdiri di area
pentasan dan membalikkan badan (tidak menghadap pola) serta menutup mata
kemudian melemparkan gacuk ke belakang. Jika gacuk jatuh di salah satu petak, maka
petak tersebut menjadi milik pemain. Jika gacuk jatuh di luar pola maka pemain
harus menunggu kesempatan lain sesudah lawan menyelesaikan bagiannya. Pemain
dapat melakukan obrog di sawah miliknya, namun lawan harus melewati sawah
tersebut.
f) Pemain dinyatakan mati (berhenti
bermain, menunggu giliran selanjutnya) jika gacuk yang dilemparkan jatuh di
luar petak yang seharusnya, gacuk jatuh di luar garis atau pola, pemain
kehilangan keseimbangan saat kaki masih harus digantung, pemain menginjak sawah
lawan , kaki pemain menyentuh bahkan menginjak gacuk lawan, gacuk yang dilempar
mengenai gacuk lawan, dan pemain tidak melakukan obrog di area obrog atau
melakukan obrog di area bukan obrog.
Terdapat
berbagai macam cara memainkan engklek, namun yang paling mendasar adalah
melompat menggunakan satu kaki, melempar gacuk dengan terarah, dan meloncat
saat obrog. Ketiga dasar permainan ini selalu dilakukan dalam semua pola
permainan engklek.
Berdasarkan
beberapa contoh permainan tradisional yang telah dijelaskan diatas, maka
permainan tersebut cocok untuk mengembangkan aspek perkembangan yang yang
dimiliki anak usia TK. Permainan-permainan tersebut juga dapat dimasukkan
menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran di taman kanak-kanak dengan mengikuti
tahapan pencapaian perkembangan (TPP)
C.
Pemanfaataan
Permainan Tradisional untuk Kegiatan Pembelajaraan
Pemanfaatan permainan
tradisional dalam kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan prinsip dan
kegunaannya. Astati (1995: 126) 10 tahun terakhir menjelaskan berkaitan dengan
kegunaannya, permainan dapat berfungsi untuk pengembangan, fungsi rekreatif, fungsi aktivitas, fungsi sosialisasi seperti diuraikan di bawah
ini.
a. Fungsi pengembangan
Bermain
dapat mengembangkan dan melancarkan peredaran darah,pencernaan makanan,
pernafasan, ketajaman penglihatan, pendengaran, tenaga, koordinasi gerak, dan
lain-lain. Bermain dapat melatih dan mengembangkan daya pikir, kreasi, ekspresi,
imajinasi, dan lain – lain. Dalam bermain dapat melatih anak untuk menahan
diri,menyatakan perasaan, menerima kekalahan, dan lain-lain. Bermain dapat
melatih anak untuk mengenal orang lain, bekerja sama atau berpartisipasi dalam
satu kegiatan.
b. Fungsi
rekreatif
Dalam
bermain dapat diperoleh unsur kesenangan, kegembiraan, karena tidak ada unsur
paksaan dan target yang ditentukan untuk dicapai. Jadi anak memperoleh
keleluasaan untuk melakukan sesuatu. Bila anak menunjukkan kesalahan maka
teguran hendaknya dikurangi. Sebaiknya ia diberi petunjuk untuk melakukan
sesuatu dan ia melakukannya sendiri
c. Fungsi aktivitas
Dengan
bermain anak melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dia mainkan. Ia tidak
mendapatkan langkah – langkah yang telah tersusun dengan rapi. Ia menentukan
sendiri bentuk aktivitasnya sehingga ia tidak menyiapkan lebih dahulu aktivitas
apa yang akan dilakukannya. Lebih- lebih jika memperhatikan karakteristik anak
tuna grahita bahwa mereka akan lebih berhasil belajarnya jika pelajarannya itu
dipraktekkannya.
d. Fungsi
sosialisasi
Kemampuan sosial
seorang anak dapat berkembang dengan seringnya ia bermain bersama-sama dengan
anak lain. Melalui bermain bersama-sama anak dapat bekerja sama (saling
membantu), berkomunikasi, mengetahui sifat temannya, dan lain- lain. Karena
terapi bermain hendaknya dilakukan bersama-sama disamping bermain dapat juga
dilakukan sendiri (Astati, 1995 : 127).
Pemanfaatan permainan tradisional didapat
dengan mengambil fungsi-fungsi yang ada dalam permainan tradisional. Permainan
tradisional dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi anak didik sesuai dengan perkembangan
usia anak didik, baik aspek fisik, mental, emosi, kognitif dan yang lainnya.
Pemanfaatan permainan tradisioanal harus disesuaikan dengan hakikat anak
diantaranya ingin bermain, suka bergerak, ingin tahu, jujur, ingin berteman, suka
hal yang baru, suka disajung, ingin mencoba, ingin meniru, dan ingin menang. Selain itu dalam kegiatan belajar mengajar
perlu disediakan alat-alat permainan yang bervariasi, tetapi tidak harus mahal.
Akan lebih baik jika alat permainan itu bisa dibuat sendiri oleh pendidik.
Menyiapkan berbagai sumber dan alat permainan dari alam sekitar akan
memfasilitasi rasa ingin tahu anak dan menumbuhkan daya kreativitas berkembang
dan tumbuh dengan baik (Panitia Sertifikasi Guru Rayon XII Universitas Negeri
Semarang, 2008: 11).
D.
Karakteristik
Anak TK Kelompok B
Anak
didik di Taman Kanak-kanak B (TK B) pada umumnya berusia 6 tahun.Karakteristik
perkembangan anak tampak dari aspek fisik, kognitif dan mental anak.
Perkembangan fisik-motorik otot kasar dan otot halus anak sudah berkembang.
Anak memiliki banyak tenaga untuk melakukan kegiatan dan umumnya mereka sangat
aktif. Anak sudah dapat melakukan gerakan yang terkordinasi. Keterampilan yang
menggunakan otot kaki dan tangan sudah berkembang dengan baik.
Perkembangan
kognitif merupakan proses mental yang mencakup pemahaman tentang dunia,
penemuan pengetahuan, pembuatan perbandingan, berfikir dan mengerti (Purwanti
dan Widodo, 2005: 40).Proses mental yang dimaksud adalah proses pengolahan
informasi yang menjangkau kegiatan kognisi, intelegensi, belajar, pemecahan
masalah dan pembentukan konsep.Anak usia 5-6 tahun berada pada tahap
praoperasional. Pada tahap ini anak mulai menunjukan proses berfikir yang
jelas. Anak mulai mengenali beberapa simbol dan tanda termasuk bahasa dan
gambar. Penguasaan bahasa anak sudah sistematis, anak dapat melakukan permainan
simbolis. Namun, pada tahap ini anak masih egosentris (Slamet Suyanto, 2005:
55). Anak mulai merepresentasikan dunianya dengan kata-kata, bayangan dan
gambar-gambar. Anak mulai berfikir simbolik, pemikiran-pemikiran mental muncul,
egosentrisme tumbuh, dan keyakinan magis mulai terkonstruksi.
Beberapa
karakteristik perkembangan sosial anak usia 5 tahun antara lain:
Ø Dapat
mengatur emosi dan mengungkapkan perasaan dengan cara yang bisa diterima secara
sosial.
Ø Anak
mampu memisahkan perasaan dengan tindakan mereka.
Ø Mengahayati
perilaku sosial yang pantas.
Ø Kekerasan
emosi dan ledakan fisik mulai berkurang karena anak telah mampu mengungkapkan
perasaan melalui kata-kata.
Ø Dapat
melucu atau membuat lelucon (Wasik, 2008: 72).
Anak usia dini memiliki keunikan dalam
perkembangannya sehingga terdapat
perbedaan dengan orang dewasa. Guru sebagai pendidik perlu mengetahui karakteristik anak usia dini agar perkembangan
kecerdasan anak serta potensi yang
dimiliki dapat berkembang dengan optimal sesuai dengan umur.
Anak berusia antara
5-6 tahun sedang berada pada akhir dari bagian awal masa kanak-kanaknya.
Karakteristik khusus bagi anak dalam kelompok usia 5-6 tahun (2011:
http://paud-uny.blogspot.com/) adalah:
Ø Perkembangan
kemampuan fisik
Pada
usia ini anak menunjukkan keingintahuan yang besar dan aktif. Dia bisa mengatur
gerakan badannya dengan lebih baik dan lebih luwes. Anak juga bisa berjalan
jinjit mundur dan berjalan mundur dengan tumitnya. Dia juga bisa berlari dengan
cepat, meloncat, berlari dengan satu kaki. Anak pada usia ini sudah bisa
mencuci tangannya sendiri tanpa membasahi bajunya, berpakaian dan mengikat tali
sepatunya sendiri. Koordinasi motorik halus yang baik berkembang hingga anak
dapat mencontoh segitiga dan belah ketupat. Mereka mulai dapat menulis beberapa
huruf dan angka dan menuliskan namanya dengan benar. Anak juga dapat menggambar
benda hidup.
Ø Penglihatan
Anak
usia 5-6 tahun dapat menguasai indera peraba, pendengaran dan penglihatan
hampir sebaik orang dewasa.
Ø Perkembangan
intelektual
Stenberg
(dalam Uswatun Hasanah, 2011: http://paud-uny.blogspot.com/) mengungkapkan
bahwa ada tiga aspek dalam kecerdasan, yaitu:
ü kecerdasan
analitis
ü kecerdasan
kreatif
ü kecerdasan
praktis
Anak
usia 5-6 tahun berada pada akhir tahap pra-operasional, tahap saat pemikiran
simbolis sangat mendominasi hidupnya. Pemikiran simbolis membuat dia mampu
untuk membuat susunan kata dan gambar yang menggambarkan suatu objek atau
tindakan tertentu dalam pikiran anak.
Ø Perkembangan
kemampuan bahasa
Perkembangan
bahasa berlangsung dengan cepat dan membantu anak untuk mengemukakan
pikirannya. Kosa kata anak meningkat sampai 8000-14000 kata pada usia 6 tahun.
Kata Tanya (kenapa, siapa, dimana, dan kapan)lebih banyak digunakan sehingga
anak pada usia ini cenderung banyak bertanya.
Ø Perkembangan
kemampuan sosial
Anak
usia 5-6 tahun menunjukkan lebih banyak kemampuan sosial. Hal ini dapat dilihat
dari cara bermain anak yang lebih terarah dan mampu bekerja sama dalam bermain.
Anak senang bermain bersama dan tolong menolong dalam mencapai keinginan
tertentu. Ada kecenderungan tolong menolong ini dalam bermain dan kegiatan
lainya. Anak usia ini lebih siap untuk berpisah beberapa jam dari orangtuanya
dibandingkan dengan anak dengan usia lebih muda. Anak sudah mampu berbagi
dengan oranglain, mampu bertenggang rasa, sabar menunggu gilirannya, dan mampu
menerima tanggung jawab yang ringan.
Ø Perkembangan
Emosional
Emotional
intelligence (kecerdasan emosi) adalah suatu tingkt kepandaian dalam memahami
emosi oranglain dan mengatur emosinya sendiri, seperti misalnya mampu memotivasi
diri sendiri dan tahan menghadapi rasa frustasi, mengontrol gerak hati dan
menunda kegembiraan, mengatur untuk tetap berpikir, berempati (mampu
membayangkan dan merasakan perasaan oranglain) dan berharap (Goleman dalam
Uswatun Hasanah, 2011: http://pauduny.blogspot.com/). Kosa kata anak yang
berhubungan dengan emosi meningkat secara bertahap, sehingga mereka mengenal
lebih banyak variasi ekspresi dari orang lain. Anak juga belajar
mengekspresikan emosi yang dirasakannya.
Ø Perkembangan
kepribadian
Faktor
keturunan dan lingkungan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Anak
mempelajari berbagai perilaku sosial dari contoh-contoh yang dilihatnya. Selain
itu, pada usia ini anak tidak hanya belajar tingkah laku yang kelihatan jelas,
tetapi juga dapat mempelajari gagasan, harapan, dan nilai-nilai. Anak dapat
mempelajari hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh.
Berdasarkan
karakteristik anak usia 5-6 tahun yang telah dijelaskan di atas, perkembangan-perkembangan
tersebut dapat berbeda pada setiap individu anak karena setiap anak memiliki
pertumbuhan dan perkembangannya masing-masing. Sehingga urutan perkembangannya
dapat berbeda. Perkembangan ini juga dapat berkembang sesuai dengan keadaan
yang terjadi di lingkungan tempat tinggal dan sekolah sehingga kegiatan dalam
pembelajaran dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik anak
seperti yang telah dijelaskan.
E. Hasil
Penelitian Relavan
Hasil
penelitian relevan sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ismatul Khasanah, Agung Prasetyo, dan Ellya
Rakhmawati (2011) tentang permainan tradisional sebagai media stimulasi perkembangan
anak usia dini. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif
jenis etnografi. Etnografi menekankan pada proses penelitian maupun hasil dari
proses tersebut. Penelitian ini digunakan untuk mencari permainan tradisional
yang cocok untuk anak usia 4-6 tahun dan menstimulasi perkembangan anak pada
usia tersebut. Sehingga peneliti dapat menemukan permainan tradisional apa saja
yang bisa menstimulasi perkembangan anak usia 4-6 tahun.
Dari
hasil penelitian tersebut diketahui bahwa permainan tradisional dapat menjadi
stimulasi perkembangan anak usia 4-6 tahun. Perkembangan tersebut antara lain
adalah perkembangan kognitif, spiritual, spasial, natural, musikal, kecerdasan
interpersonal dan intrapersonal, mengembangkan sportivitas, dan mengembangkan
kemampuan fisik anak.
Persamaan penelitian
ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah mengkaji tentang manfaat
permainan tradisional untuk perkembangan anak usia dini. Pengumpulan data juga
melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang akan dilakukan terletak pada lokasi dan subjek yang diteliti.
Penelitian ini dilakukan di TKIT Lentera Insan, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan berada di TKIT Al Mufid.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Tujuan
Penelitian
Tujuan Penelitian untuk
mengetahui bagaimana pemanfaatan
permainan tradisional untuk kegiatan pembelajaran di TKIT Al Mufid, Sukatani
B.
Tempat
dan Waktu Penelitian
a) Tempat : Penelitian ini dilaksanakan di TKIT Al
Mufid yang beralamat di Perumahan Bumi Kahuripan Indah blok F, Cikarang
b) Waktu : Penelitian ini dilakukan pada semester
I mulai dari bulan agustus sampai oktober 2017
C.
Latar
Penelitian
Kegiatan
penelitian dilakukan pada kelompok B2 di TKIT Al Mufid yang beralamatkan di
Perumahan Bumi Kahuripan Indah (Perum BKI) blok F, Sukatani. Pemilihan TKIT Al
Mufid sebagai tempat penelitian berdasarkan pertimbangan, anak kelompok B2 di
TK ini untuk melaksanakan permainan tradisional secara rutin dalam kegiatan
pembelajaran maupun pada waktu istirahat dibandingkan TKIT Rabbani dan TKIT Al
Hikmah. Peneliti memusatkan pada pemanfaatan permainan tradisional dalam
kegiatan pembelajaran kelompok B2 TKIT Al Mufid.
D.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Zainal Arifin (2012: 140)
mengartikan penelitian kualitatif sebagai suatu proses penelitian yang
dilakukan secara wajar dan natural sesuai dengan kondisi objektif di lapangan
tanpa adanya manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan terutama data kualitatif. Penelitian kualitatif seperti yang
dikemukakan Bogdan dan Taylor (dalam Arifin, 2012: 140) adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sejalan dengan kedua teori
tersebut, Sugiyono (2010: 283) menyebutkan bahwa masalah yang terdapat dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara, tentatif, dan akan berkembang
atau berganti setelah peneliti berada di lapangan.
Penggunaan
pendekatan kualitatif didasarkan pada pertimbangan bahwa pemanfaatan permainan
tradisional dalam kegiatan pembelajaran di TK memiliki banyak aspek yang unik
untuk dipelajari dan diajarkan kepada anak usia dini dalam hubungannya sebagai
sarana pengembangan aspek perkembangan anak usia dini sehingga perlu digali
lebih mendalam dan komprehensif. Penelitian kasus sebagai kajian yang rinci
atas suatu latar atau peristiwa tertentu (Bogdan dalam Idrus, 2009: 57). Zainal
Arifin (2012: 152) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan penelitian yang
mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program
kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu. Alasan yang mendorong peneliti
menggunakan jenis penelitian studi kasus adalah ingin mengetahui lebih dalam
dan menggambarkan pemanfaatan permainan tradisional dalam kegiatan pembelajaran
pada anak Kelompok B2 di TKIT Al Mufid, Cikarang.
E.
Data
dan Sumber Data
a) Data
Data-data
yang digunakan dalam penelitian mengenai deskripsi pemanfaatan permainan
tradisional dalam kegiatan pembelajaran anak kelompok B2 di TKIT Al Mufid
Sukatani dimulai dari masuk sekolah hingga pembelajaran sekolah berakhir yang
mencakup hasil wawancara, dokumentasi, dan observasi mengenai pemanfaatan
permainan tradisional dalam kegiatan pembelajaran TK.
b) Sumber
Data
Sumber
data pada penelitian ini diperoleh dari kepala sekolah, guru kelas kelompok B2,
guru pendamping kelompok B2, anak kelompok B2 TKIT Al Mufid, dan sumber data
tertulis berupa referensi yang digunakaan peneliti dalam bentuk catatan
lapangan serta foto. Sumber data yang telah diperoleh digunakan untuk menelaah
segi-segi subjektif dan hasilnya dianalisis secara induktif.
F.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
menurut Sugiyono (2010: 308) merupakan langkah yang paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Bermacam-macam teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara,
dokumentasi, dan gabungan/ triangulasi (Sugiyono, 2010:309).
Tabel 1. Kisi-kisi Panduan
Penelitian
No
|
Pertanyaan
Penelitian
|
Teknik
Penelitian
|
1.
|
Jenis
Pemainan tradisional yang dimanfaatkan
|
a. Wawancara
b. Observasi
c. Dokumentasi
|
2
|
Alat
yang digunakan untuk melakukan permainan tradisional
|
a. Wawancara
b. Observasi
c. Dokumentasi
|
3
|
Prosedur
pelaksanaan permainan tradisional
|
a. Wawancara
b. Observasi
c. Dokumentasi
|
4
|
Faktor
pendukung dalam kegiatan yang menggunakan permainan tradisional
|
a. Wawancara
b. Observasi
c. Dokumentasi
|
5
|
Faktor
penghambat dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan permainan tradisional
|
a. Wawancara
b. Observasi
c. Dokumentasi
|
Berdasarkan
kisi-kisi panduan penelitian di atas maka peneliti membuat lembar catatan
observasi, catatan wawancara, dan catatan dokumentasi yang akan digunakan pada
saat pengambilan data di lapangan (terlampir). Pada penelitian ini teknik atau
metode yang digunakan untuk mengumpulkan data antara lain adalah:
1) Observasi
Observasi
menurut Marshal (dalam Sugiyono, 2010: 310) adalah melalui observasi, peneliti
belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. Observasi merupakan
kegiatan memperhatikan dengan menggunakan mata. Metode observasi bertujuan
untuk mengetahui deskripsi pemanfaatan permainan tradisional dalam kegiatan
pembelajaran pada kelompok B. Kegiatan observasi dilaksanakan di dalam maupun
di luar kelas dengan mengamati perilaku anak. Peneliti melaksanakan pengamatan
dengan menggunakan pedoman observasi untuk memperoleh data yang diinginkan dan
setiap informasi yang ditemukan dicatat dalam bentuk catatan lapangan. Catatan
lapangan digunakan peneliti untuk mencatat kejadian dalam kegiatan pembelajaran
yang memanfaatkan permainan tradisional sebagai bukti konkret untuk
menganalisis data. Panduan observasi terlampir.
2) Wawancara
Wawancara
ditujukan kepada sumber data yang terlibat dalam pemanfaatan permainan
tradisional dalam kegiatan pembelajaran di kelompok B2. Teknik wawancara yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dengan menyiapkan
panduan penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Sumber data dalam
teknik wawancara adalah kepala sekolah dan guru kelas. Panduan wawancara
terlampir.
3) Dokumentasi
Dokumentasi
menurut Sugiyono (2010: 329) merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu
bisa berupa bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Teknik dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti adalah pengambilan gambar atau
foto sebagai bukti nyata pelaksanaan permainan tradisional dalam kegiatan
pembelajaran. Panduan dokumentasi terlampir.
G.
Pemeriksaan
Keabsahan Data (Triangulasi)
Triangulasi
dengan sumber data dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara dengan
pengamatan, apa yang dikatakan dengan situasi penelitian sepanjang waktu,
pandangan, dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat, serta
membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi yang terkait. Triangulasi
dengan metode dilakukan untuk melakukan pengecekan terhadap penggunaan metode
pengumpulan data yang meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Triangulasi dengan teori dilakukan dengan mengurai pola, hubungan, dan
menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis untuk mencari penjelasan
pembanding. Tujuan dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang
beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap
apa yang telah ditemukan. Nilai dari oleh karena itu dengan menggunakan teknik
triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan lebih
konsisten, tuntas, dan pasti.
H.
Teknik
Analisis Data
Analisis data dalam
penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2010: 336) dilakukan sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis data
dalam penelitian kualitatif di TKIT Al Mufid, Sukatani dilakukan sejak sebelum
terjun ke lapangan, observasi, selama pelaksanaan penelitian di lapangan, dan
setelah selesai penelitian dilapangan. Data ini diperoleh dari hasil wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasi
data yang diperoleh ke dalam sebuah kategori, menjabarkan data ke dalam
unit-unit, menganalisis data yang penting, menyusun dan menyajikan data yang
sesuai dengan masalah penelitian dalam bentuk laporan, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami. Tahap terakhir dari analisis data kualitatif model
interaktif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar